Tag Archives: demokratisasi

ANALISIS YURIDIS PERAN TNI DALAM PROSES DEMOKRATISASI (Studi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia)

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah

Agenda transformasi politik yang terkesan sangat progresif segera setelah reformasi bergulir adalah soal kontekestualisasi dwi fungsi ABRI. Gagasan kontekstualisasi ini, signifikansinya terletak pada penataan demokrasi yang lebih otentik. Setidaknya, secara kategoris beberapa pandangan kontroversial menegaskan fungsi ABRI dalam kaitannya dalam membangun proses demokratisasi yang sementara berlangsung. Pertama, kelompok status quo yang masih menghendaki agar fungsi TNI di legislatif tetap dilestarikan. Kedua, kelompok ekstrimis yang memang menghendaki agar TNI dihilangkan fungsinya dan keberadaannya di legislatif. Alasannya TNI sebaiknya kembali ke barak. Dan hanya sekadar menjalankan fungsi pertahanan. Persoalan politik adalah urusan sipil. Ketiga, kelompok moderat yang menghendaki dwifungsi ABRI direlevankan implementasinya dalam membangun proses demokratisasi.

Jika dicermati lebih dalam, pendapat kedua dan ketiga lebih banyak mendapat perhatian. Gagasan kedua yang menghendaki agar posisi TNI dhilangkan lebih berpijak pada prinsip civilian supremacy (supremasi sipil). Gagasan ini, sebetulnya berangkat dari model Barat yang terbukti lebih progres dan matang derajat demokrasinya. Menjadikan supremasi sipil sebagaimana dicontohkan di Barat berarti menempatkan militer dalam kerangka politik sebagai bangunan idealis dan tekstualis. Sementara, gagasan yang ketiga mencoba merelevansikan dengan faktor lokal sebagai pertimbangan. Pandangan ketiga ini, memahami militer Indonesia sebagai self created army. Tentu, pandangan ini tidak melupakan sisi idealisme demokrasi, tetapi mencoba mengkombinasikan antara realitas politik dengan latar belakang pluralitas sejarah.

Dwifungsi ABRI, sebetulnya memang lahir dari situasi politik khas Indonesia. Ia menjadi khas karena sejarah kelahirannya yang berbeda dengan militer di negara-negara Barat. Keistemewaan inilah yang harus dihargai, dihormati dan diakui. Tetapi, meski penghargaan atas pengakuan sejarahnya penting, bukan berarti kemudian ini menjadi postulat bagi ABRI dapat melakukan apa saja. Dwifungsi ABRI dan implementasinya tak boleh bertentangan dengan spirit dan prinsip-prinsip demokrasi. Sayangnya, dalam perjalanan ABRI selama ini pengakuan atas rahim sejarahnya yang khas menjadikannya tidak terkontrol dan tidak dikelola secara bagus.

Memang, bahwa dwifungsi ABRI sebagai produk historis tak bisa dinafikan. Jika ditilik dari latar historis antara ABRI dengan demokrasi memiliki keterkaitan sangat dekat. Sayangnya, persepsi ABRI selama ini dinilai sangat negatif. Terdapat persepsi yang dinilai keliru dalam melihat hubungan demokrasi dengan dwifungsi ABRI. Padahal sebetulnya, kaitannya dengan demokrasi bukan terletak pada konsepsi dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI yang embrionya adalah konsep jalan tengahnya Nasution disemangati nilai egalitarianisme dan kebersamaan politik antara sipil dan militer.

Sebagai potensi yang absah dari negara bangsa, baik sipil maupun militer mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab sama terhadap nasib republik. Supremasi sipil bukan berarti harus menafikan posisi militer dalam tatanan negara bangsa. Begitu juga, militer tidak harus tampil sebagai kekuatan dominan yang mesti menyinkirkan sipil dari tatanan yang ideal. Kedua potensi ini mesti dikelola dengan latar yang integrated. Kedua potensi ini harus bersifat dualitas, bukannya dualisme yang harus diposisikan dalam keadaan vis a vis. Beginilah dasarnya bahwa dwifungsi ABRI lahir sebagai sebuah konsepsi jalan tengah.

Runyamnya permasalahan yang dihadapkan terhadap ABRI, akar masalahnya lebih karena soal tafsir dan implementasi yang tidak terkontrol. Tafsir dwifungsi pada masa orde baru ditegakkan atas prinsip-prinsip stabilitas. Implikasinya, tata kelolanya menyalahi semangat jalan tengah. Kesetaraan dan perimbangan politik dengan sipil pada gilirannya diganti dengan peran dominatif ABRI. Akhirnya, dalam kerangka peran militer yang dominan menyebabkan peran sipil menjadi termarginalkan. Demi stabilitas, maka hak-hak sipil.

B.   Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah peran TNI di tengah arus demokratisasi Indonesia dalam tinjauan yuridis normatif?
  2. Bagaimanakah hubungan sipil dan militer dalam kerangka kebijakan hukum Indonesia?

C.   Tujuan dan Kegunaan Penelitian

  1. Tujuan Penelitian
    1. Untuk mengetahui peran TNI di tengah arus demokratisasi Indonesia.
    2. Untuk mengetahui hubungan sipil dan militer dalam kerangka kebijakan hukum Indonesia.
  2. Kegunaan Penelitian
    1. Sebagai referensi bagi kalangan akademisi, politisi, praktisi dan mahasiswa yang senang dengan kajian TNI.
    2. Sebagai masukan bagi dunia perguruan tinggi dalam menambah khasanah wacana intelektual

ANALISIS YURIDIS PERAN TNI DALAM PROSES DEMOKRATISASI (Studi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Agenda transformasi politik yang terkesan sangat progresif segera setelah reformasi bergulir adalah soal kontekestualisasi dwi fungsi ABRI. Gagasan kontekstualisasi ini, signifikansinya terletak pada penataan demokrasi yang lebih otentik. Setidaknya, secara kategoris beberapa pandangan kontroversial menegaskan fungsi ABRI dalam kaitannya dalam membangun proses demokratisasi yang sementara berlangsung. Pertama, kelompok status quo yang masih menghendaki agar fungsi TNI di legislatif tetap dilestarikan. Kedua, kelompok ekstrimis yang memang menghendaki agar TNI dihilangkan fungsinya dan keberadaannya di legislatif. Alasannya TNI sebaiknya kembali ke barak. Dan hanya sekadar menjalankan fungsi pertahanan. Persoalan politik adalah urusan sipil. Ketiga, kelompok moderat yang menghendaki dwifungsi ABRI direlevankan implementasinya dalam membangun proses demokratisasi.
Jika dicermati lebih dalam, pendapat kedua dan ketiga lebih banyak mendapat perhatian. Gagasan kedua yang menghendaki agar posisi TNI dhilangkan lebih berpijak pada prinsip civilian supremacy (supremasi sipil). Gagasan ini, sebetulnya berangkat dari model Barat yang terbukti lebih progres dan matang derajat demokrasinya. Menjadikan supremasi sipil sebagaimana dicontohkan di Barat berarti menempatkan militer dalam kerangka politik sebagai bangunan idealis dan tekstualis. Sementara, gagasan yang ketiga mencoba merelevansikan dengan faktor lokal sebagai pertimbangan. Pandangan ketiga ini, memahami militer Indonesia sebagai self created army. Tentu, pandangan ini tidak melupakan sisi idealisme demokrasi, tetapi mencoba mengkombinasikan antara realitas politik dengan latar belakang pluralitas sejarah.
Dwifungsi ABRI, sebetulnya memang lahir dari situasi politik khas Indonesia. Ia menjadi khas karena sejarah kelahirannya yang berbeda dengan militer di negara-negara Barat. Keistemewaan inilah yang harus dihargai, dihormati dan diakui. Tetapi, meski penghargaan atas pengakuan sejarahnya penting, bukan berarti kemudian ini menjadi postulat bagi ABRI dapat melakukan apa saja. Dwifungsi ABRI dan implementasinya tak boleh bertentangan dengan spirit dan prinsip-prinsip demokrasi. Sayangnya, dalam perjalanan ABRI selama ini pengakuan atas rahim sejarahnya yang khas menjadikannya tidak terkontrol dan tidak dikelola secara bagus.
Memang, bahwa dwifungsi ABRI sebagai produk historis tak bisa dinaifkan. Jika ditilik dari latar historis antara ABRI dengan demokrasi memiliki keterkaitan sangat dekat. Sayangnya, persepsi ABRI selama ini dinilai sangat negatif. Terdapat persepsi yang dinilai keliru dalam melihat hubungan demokrasi dengan dwifungsi ABRI. Padahal sebetulnya, kaitannya dengan demokrasi bukan terletak pada konsepsi dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI yang embrionya adalah konsep jalan tengahnya Nasution disemangati nilai egalitarianisme dan kebersamaan politik antara sipil dan militer.
Sebagai potensi yang abash dari negara bangsa, baik sipil maupun militer mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab sama terhadap nasib republik. Supremasi sipil bukan berarti harus menafikan posisi militer dalam tatanan negara bangsa. Begitu juga, militer tidak harus tampil sebagai kekuatan dominan yang mesti menyinkirkan sipil dari tatanan yang ideal. Kedua potensi ini mesti dikelola dengan latar yang integrated. Kedua potensi ini harus bersifat dualitas, bukannya dualisme yang harus diposisikan dalam keadaan vis a vis. Beginilah dasarnya bahwa dwifungsi ABRI lahir sebagai sebuah konsepsi jalan tengah.
Runyamnya permasalahan yang dihadapkan terhadap ABRI, akar masalahnya lebih karena soal tafsir dan implementasi yang tidak terkontrol. Tafsir dwifungsi pada masa orde baru ditegakkan atas prinsip-prinsip stabilitas. Implikasinya, tata kelolanya menyalahi semangat jalan tengah. Kesetaraan dan perimbangan politik dengan sipil pada gilirannya diganti dengan peran dominatif ABRI. Akhirnya, dalam kerangka peran militer yang dominan menyebabkan peran sipil menjadi termarginalkan. Demi stabilitas, maka hak-hak sipil.
B.    Rumusan Masalah
a.    Bagaimanakah peran TNI di tengah arus demokratisasi Indonesia dalam tinjauan yuridis normatif?
b.    Bagaimanakah hubungan sipil dan militer dalam kerangka kebijakan hukum Indonesia?
C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.    Tujuan Penelitian
a.    Untuk mengetahui peran TNI di tengah arus demokratisasi Indonesia.
b.    Untuk mengetahui hubungan sipil dan militer dalam kerangka kebijakan hukum Indonesia.
2.    Kegunaan Penelitian
a.    Sebagai referensi bagi kalangan akademisi, politisi, praktisi dan mahasiswa yang senang dengan kajian TNI.
b.    Sebagai masukan bagi dunia perguruan tinggi dalam menambah khasanah wacana intelektual